Pengertian Hukum
Perjanjian
Dalam Pasal 1313 KUH Perdata,
perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan
diri terhadap satu orang lain atau lebih.Pengertian ini mengundang kritik dari
banyak ahli hukum, karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang
bersifat sepihak, padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang
bersifat timbal balik di kedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban
masing-masing. Untuk itu secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai
sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri
satu sama lain.
Para ahli hukum mempunyai pendapat
yang berbeda-beda mengenai pengertian perjanjian, Abdulkadir Muhammad
mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau
lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta
kekayaan. Ahli hukum lain mengemukakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa
dimana seorang berjanji kepada seseorang yang lain atau dimana dua orang itu
saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal yang menimbulkan perikatan berupa
suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang
diucapkan atau ditulis.
Menurut J.Satrio perjanjian dapat
mempunyai dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit, dalam arti luas suatu
perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang
dikehendaki oleh para pihak termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian kawin,
dll, dan dalam arti sempit perjanjian disini berarti hanya ditujukan kepada
hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang
dimaksud oleh buku III kitab undang-undang hukum perdata.
Standar Kontak
Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan
dari bahasa Inggris, yaitu standard contract. Standar kontrak merupakan
perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak
ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak
ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Kontrak baku menurut Munir Fuadi adalah
Suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu pihak dalam kontrak
tersebut, bahkan seringkali tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam
bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini
ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan
data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam
klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak
mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau
mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut,
sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah.
Sedangkan menurut Pareto, suatu transaksi atau
aturan adalah sah jika membuat keadaan seseorang menjadi lebih baik dengan
tidak seorangpun dibuat menjadi lebih buruk, sedangkan menurut ukuran
Kaldor-Hicks, suatu transaksi atau aturan sah itu adalah efisien jika
memberikan akibat bagi suatu keuntungan sosial. Maksudnya adalah membuat keadan
seseorang menjadi lebih baik atau mengganti kerugian dalam keadaan yang
memperburuk.
Menurut Treitel, “freedom of contract” digunakan untuk merujuk kepada dua asas
umum (general principle).
Asas umum yang pertama mengemukakan bahwa “hukum
tidak membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak: asas
tersebut tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya
karena syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak.
Jadi ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak
untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat, dan yang kedua
bahwa pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu
perjnjian. Intinya adalah bahwa kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi
para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat
perjanjian.
Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat
perjanjian, maka perjanjian yang dibuat tidak sah. Orang tidak dapat dipaksa
untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan dipaksa adalah
contradictio in terminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang
mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pihak kepadanya,
yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud atau menolak
mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud. Dengan akibat transasksi yang
diinginkan tidak dapat dilangsungkan. Inilah yang terjadi dengan berlakunya
perjanjian baku di dunia bisnis pada saat ini.
Namun kebebasan berkontrak diatas tidak dapat berlaku mutlak tanpa batas.
Artinya kebebasan berkontrak tidak tak terbatas. Dalam melihat pembatasan
kebebasan berkontrak terhadap kebolehan pelaksanaan kontrak baku terdapat dua
pendapat yang dikemukaan oleh Treitel yaitu terdapat dua pembatasan. Yang
pertama adalah pembatasan yang dilakukan untuk menekan penyalahgunaan yang
disebabkan oleh karena berlakunya asas kebebasan berkontrak. Misalnya
diberlakukannya exemption clauses (kalusul eksemsi) dalam perjanjian-perjanjian
baku. Yang kedua pembatasan kebebasan berkontrak karena alasan demi kepentingan
umum (public interest)
Dari keterangan diatas dapat di ketahui bahwa tidak ada kebebasan berkontrak
yang mutlak. Pemerintah dapat mengatur atau melarang suatu kontrak yang dapat
berakibat buruk terhadap atau merugikan kepentingan masyarakat.
Pembatasan-pembatasan terhadap asas kebebasan
berkontrak yang selama ini dikenal dan diakui oleh hukum kontrak sebagaimana
telah diterangkan diatas ternyata telah bertambah dengan pembatasan-pembatasan
baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh hukum perjanjian yaitu
pembatasan-pembatasan yang datangnya dari pihak pengadilan dalam rangka
pelaksanaan fungsinya selaku pembuat hukum, dari pihak pembuat peraturan
perundang-undangan (legislature) terutama dari pihak pemerintah, dan dari
diperkenalkan dan diberlakukannya perjanjian adhesi atau perjanjian baku yang
timbul dari kebutuhan bisnis.
Di Indonesia kita ketahui pula ada dijumpai tindakan negara yang merupakan
campur tangan terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sebagai
contoh yang paling dikenal adalah yang menyangkut hubungan antara buruh dan
majikan/pengusaha. Tetapi tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat
membatasi asas kebebasn berkontrak, namun hanya UU atau Perpu atau peraturan
perundan-undagan yang lebih tinggi saja yang memepunyai kekuatan hukum untuk
emmbatsai bekerjanya asas kebebasan berkontrak.
Bila dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan kontrak
baku atau perjanjian standar yang merupakan pembolehan terhadap praktek kontrak
baku, maka terdapat landasan hukum dari berlakunya perjanjian baku yang
dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, yaitu :
1. Pasal 6.5.
1.2. dan Pasal 6.5.1.3. NBW Belanda
Isi ketentuan
itu adalah sebagai berikut :
Bidang-bidang usaha untuk mana aturan baku
diperlukan ditentukan dengan peraturan.
Aturan baku dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman,
melalui sebuah panitian yasng ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara
bekerja panitia diatur dengan Undang-undang.
Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai kekuatan,
setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal itu dalam Berita
Negara. Seseorang yang menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi
janji baku atau menerima penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji
itu.
Janji baku dapat
dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau seharunya mengetahui pihak
kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui isinya.
2. Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 prinsip
UNIDROIT (Principles of International Comercial Contract).
Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang mengatur hak
dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan
berkontrak karena prinsip kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa
membahayakan pihak yang lemah. Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai
berikut :
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan
syarat-syarat baku, maka berlaku aturan-aturan umum tentang pembentukan kontrak
dengan tunduk pada pasal 2.20 – pasal 2.22.
Syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan
terlebih dahulu untuk digunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu
pihak dan secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya.
Ketentuan ini
mengatur tentang :
a. Tunduknya
salah satu pihak terhadap kontrak baku
b. Pengertian
kontrak baku.
3. Pasal 2.20
Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Suatu
persyaratan dalam persyaratan-persyaratan standar yang tidak dapat secara layak
diharapkan oleh suatu pihak, dinyatakan tidak berlaku kecuali pihak tersebut
secara tegas menerimanya.Untuk menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi
ciri seperti tersebut diatas akan bergantung pada isi bahasa, dan penyajiannya.
4. Pasal 2.21
berbunyi
Dalam hal timbul suatu pertentangan antara persyaratan-persyaratan
standar dan tidak standar, persyaratan yang disebut terakhir dinyatakan
berlaku.
5. Pasal 2.22
Jika kedua belah pihak menggunakan persyaratan-persyaratan
standar dan mencapai kesepakatan, kecuali untuk beberapa persyaratan tertentu,
suatu kontrak disimpulkan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah
disepakati dan persyaratan-persyaratan standar yang memiliki kesamaan dalam
substansi, kecuali suatu pihak sebelumnya telah menyatakan jelas atau kemudian
tanpa penundaan untuk memberitahukannya kepada pihak lain, bahwa hal tersebut
tidak dimaksudkan untuk terikat dengan kontrak tersebut.
6. UU No 10 Tahun 1988 tentang Perubahan UU No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan.
7. UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.
Dengan telah dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut
diatas menunjukkan bahwa pada intinya kontrak baku merupakan jenis kontrak yang
diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak karena
pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak baku dibuat untuk melindungi
pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang berlebihan dan untuk kepentingan
umum sehingga perjanjian kontrak baku berlaku dan mengikat kedua belah pihak
yang membuatnya.
Macam-macam kontrak atau perjanjian
Tentang jenis-jenis kontrak KUHP tidak secara khusus
mengaturnya. Penggolongan yang umum dikenal ialah penggolongan kedalam kontrak
timbal balik atau kontrak asas beban, dan kontrak sepihak atau kontrak tanpa
beban atau kontrak cuma-cuma.
Kontrak timbal balik merupakan perjanjian yang didalamnya
masing-masing pihak menyandang status sebagai berhak dan berkewajiban atau
sebagai kreditur dan debitur secara timbal balik, kreditur pada pihak yang satu
maka bagi pihak lainnya adalah sebagai debitur, begitu juga sebaliknya.
Kontrak sepihak merupakan perjanjian yang mewajibkan pihak
yang satu untuk berprestasi dan memberi hak pada yang lain untuk menerima
prestasi. Contohnya perjanjian pemberian kuasa dengan cuma-cuma, perjanjian
pinjam pakai cuma-cuma, perjanjian pinjam pengganti cuma-cuma, dan penitipan
barang dengan cuma-cuma.
Arti penting pembedaan tersebut ialah :
Berkaitan dengan aturan resiko, pada perjanjian sepihak
resiko ada pada para kreditur, sedangkan pada perjanjian timbal balik resiko
ada pada debitur, kecuali pada perjanjian jual beli. Berkaitan dengan
perjanjian syarat batal, pada perjanjian timbal balik selalu dipersengketakan.
Jika suatu perjanjian timbal balik saat pernyataan pailit
baik oleh debitur maupun lawan janji tidak dipenuhi seluruh atau sebagian dari
padanya maka lawan janjinya berhak mensomir BHP. Untuk jangka waktu 8 hari
menyatakan apakah mereka mau mempertahankan perjanjian tersebut.
Kontrak menurut
namanya dibedakan menjadi dua, yaitu kontrak bernama atau kontrak nominat, dan
kontrak tidak bernama atau kontrak innominat. Dalam buku III KUHP tercantum
bahwa kontrak bernama adalah kontrak jual beli, tukar menukar, sewa-menyewa,
hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa,
penanggungan utang, perdamaian, dll. Sementara yang dimaksud dengan kontrak
tidak bernama adalah kontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam
masyarakat. Jenis kontrak ini belum tercantum dalam kitab undang-undang hukum
perdata. Yang termasuk dalam kontrak ini misalnya leasing, sewa-beli, keagenan,
franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, production sharing.
Kontrak
menurut bentuknya dibedakan menjadi kontrak lisan dan kontrak tertulis. Kontrak
lisan adalah kontrak yang dibuat secara lisan tanpa dituangkan kedalam tulisan.
Kontrak-kontrak yang terdapat dalam buku III KUHP dapat dikatakan umumnya
merupakan kontrak lisan, kecuali yang disebut dalam pasal 1682 KUHP yaitu
kontrak hibah yang harus dilakukan dengan akta notaris.
Kontrak tertulis adalah kontrak yang dituangkan dalam
tulisan. Tulisan itu bisa dibuat oleh para pihak sendiri atau dibuat oleh
pejabat, misalnya notaris. Didalam kontrak tertulis kesepakatan lisan
sebagaimana yang digambarkan oleh pasal 1320 KUHP, kemudian dituangkan dalam tulisan.
Macam – Macam
Perjanjian
Macam-macam perjanjian obligator ialah sbb;
1). Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan perjanjian
dengan beban
Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana
pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima
suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata).
Perjanjian dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak
memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat
bagi dirinya sendiri.
2). Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal
balik
Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya
terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja. Perjanjian timbal balik ialah
suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
3). Perjanjian konsensuil, formal dan, riil
Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila
ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk
teryentu, yaitu dengan cara tertulis. Perjanjian riil ialah suatu perjanjian
dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.
4). Perjanjian bernama, tidak bernama dan,
campuran
- Perjanjian bernama adalah suatu perjanjian dimana Undang Undang telah mengaturnya dengan kententuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHPerdata ditambah titel VIIA.
- Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus.
- Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit dikualifikasikan.
Syarat-syarat sah
perjanjian
Suatu kontrak dianggap sah (legal) dan mengikat, maka
perjanjian tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut ketentuan
pasal 1320 KUHP Perdata, ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya
suatu perjanjian, yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya
Syarat pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian,
yaitu adanya kesepakatan antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan
mereka laksanakan. Oleh karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh
disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan.
Apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan dari salah satu
pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
2. Kecakapan untuk membuat suatu
perikatan
Pada saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia
secara hukum telah dewasa atau cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada
walinya. Di dalam KUH Perdata yang disebut pihak yang tidak cakap untuk membuat
suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang
berada dibawah pengampunan.
3.
Mengenai suatu hal tertentu
Secara yuridis
suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah disetujui. Suatu hal
tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap perjanjian
harus memiliki objek tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian penilaian,
maka objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak
mengira-ngira.
4. Suatu sebab yang halal
Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta
perjanjian sebab dari perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi,
dengan syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai
orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat
ini dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat
ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian
dan isi perjanjian, apabila syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut
batal demi hukum. Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya
suatu perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan
dapat dijalankan.
Saat Lahirnya Perjanjian
Menetapkan kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti
penting bagi :
a) kesempatan penarikan kembali penawaran;
b) penentuan resiko;
c) saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;
d) menentukan tempat terjadinya perjanjian.
Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal
adanya asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir
pada saat terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap
obyek yang diperjanjikan.
Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat
konsensual. Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak
atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam kontrak. Seorang dikatakan
memberikan persetujuannya/kesepakatannya (toestemming), jika ia memang
menghendaki apa yang disepakati.
Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian
sepakat sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende
wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan
tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi
(acceptatie). Jadi pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak
dari pihak yang akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang
menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian.
Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk
menentukan saat lahirnya kontrak yaitu:
- Teori Pernyataan (Uitings Theorie) --> Menurut teori ini, kontrak telah ada/lahir pada saat atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain kontrak itu ada pada saat pihak lain menyatakan penerimaan/akseptasinya.
- Teori Pengiriman (Verzending Theori) --> Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya kontrak. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya kontrak.
- Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie) --> Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.
- Teori penerimaan (Ontvangtheorie) --> Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya kontrak.
Pelaksanaan kontrak
Pengaturan mengenai pelaksanaan kontrak dalam KUHP menjadi
bagian dari pengaturan tentang akibat suatu perjanjian, yaitu diatur dalam
pasal 1338 sampai dengan pasal 1341 KUHP. Pada umumnya dikatakan bahwa yang
mempunyai tugas untuk melaksanakan kontrak adalah mereka yang menjadi subjek
dalam kontrak itu. Salah satu pasal yang berhubungan langsung dengan
pelaksanaannya ialah pasal 1338 ayat 3 yang berbunyi ”suatu perjanjian harus
dilaksanakan dengan etiket baik.” Dari pasal tersebut terkesan bahwa untuk
melaksanakan kontrak harus mengindahkan etiket baik saja, dan asas etiket baik
terkesan hanya terletak pada fase atau berkaitan dengan pelaksanaan kontrak,
tidak ada fase-fase lainnya dalam proses pembentukan kontrak.
Asas yang mengikat dalam pelaksanaan kontrak
Hal-hal yang mengikat dalam kaitan dengan pelaksanaan kontrak
ialah :
Segala sesuatu yang menurut sifat kontrak diharuskan oleh
kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang. Hal-hal yang menurut kebiasaan sesuatu
yang diperjanjikan itu dapat menyingkirkan suatu pasal undang-undang yang
merupakan hukum pelengkap.
Bila suatu hal tidak diatur oleh/dalam undang-undang dan
belum juga dalam kebiasaan karena kemungkinan belum ada, tidak begitu banyak
dihadapi dalam praktek, maka harus diciptakan penyelesaiannya menurut/dengan
berpedoman pada kepatutan.
Pelaksanaan kontrak harus sesuai dengan asas kepatutan,
pemberlakuan asas tersebut dalam suatu kontrak mengandung dua fungsi, yaitu :
Fungsi melarang, artinya bahwa suatu kontrak yang
bertentangan dengan asas kepatutan itu dilarang atau tidak dapat dibenarkan,
contoh : dilarang membuat kontrak pinjam-meminjam uang dengan bunga yang amat
tinggi, bunga yang amat tinggi tersebut bertentangan dengan asas kepatutan.
Fungsi menambah, artinya suatu kontrak dapat ditambah dengan
atau dilaksanakan dengan asas kepatutan. Dalam hal ini kedudukan asas kepatutan
adalah untuk mengisi kekosongan dalam pelaksanaan suatu kontrak yang tanpa
isian tersebut, maka tujuan dibuatnya kontrak tidak akan tercapai.
Pembatalan perjanjian
Pembelokan
pelaksanaan kontrak sehingga menimbulkan kerugian yang disebabkan oleh
kesalahan salah satu pihak konstruksi tersebut dikenal dengan sebutan
wanprestasi atau ingkar janji. Wanprestasi adalah tidak dilaksanakannya
prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak
terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak.
a.
Tidak memenuhi prestasi sama sekali
b.
Terlambat memenuhi prestasi, dan
c.
Memenuhi prestasi secara tidak sah
Akibat munculnya wanprestasi ialah
timbulnya hak pada pihak yang dirugikan untuk menuntut penggantian kerugian
yang dideritanya terhadap pihak yang wanprestasi. Pihak yang wansprestasi
memiliki kewajiban untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang menderita
kerugian.
Tuntutan pihak yang
dirugikan terhadap pihak yang menyebabkan kerugian berupa :
a. Pemenuhan perikatan
b. Pemenuhan perikatan dengan ganti
rugi
c.
Ganti rugi
d.
Pembatalan persetujuan timbale balik, atau
e.
Pembatalan dengan ganti rugi
Sumber:
p4hrul.wordpress.com